We are youth of the nation.
P.O.D.
DHANI Ahmad, dedengkot Dewa 19, mengeluarkan keputusan penting. Menurutnya, beberapa tahun lagi, band yang ia kawal sejak dekade 1990-an itu akan segera ia bubarkan. Konsekuensinya, semua awak band itu harus segera berkarya mandiri. Tidak terlalu jelas alasan Dhani untuk mengakhiri keperkasaan band yang hanya menyisakan dua personel abadinya itu. Bukankah seharusnya mereka go international setelah pasar negeri ini overload dengan karya-karya mereka?
Untuk merespons Dhani, Andra Ramadhan, lead guitar yang juga loyalis Dhani, lantas berkongsi dengan the Backbones untuk merelease album perdana mereka. Tak penting apakah Andra lantas menurunkan harmoninya lantaran membidik pangsa ABG, bukan lagi level Yngwie atau setidaknya beat simpel milik Queen, manuver ini ternyata dapat diterima pasar.
Sebenarnya tak terlalu penting mempersoalkan isu ini. Hikmah kecil yang bisa diambil adalah keberanian Dhani untuk mengaku bahwa ia tak sanggup lagi menahan beban kebesaran Dewa 19 yang selama ini diidentikkan dengannya. Dhani sadar, kondisi objektif dunia tak lagi benar-benar merestui gerak langkahnya. Bila ia tak segera mengurangi beban itu, ia akan pensiun dengan sangat tragis seperti Kurt Cobain (Nirvana) yang bunuh diri lantaran merasa tak dapat memuaskan fansnya, Axl Rose (Guns and Roses) yang hilang dari peredaran karena tak sanggup menahan egonya untuk terus merombak manajemen band, atau Paul McCartney (the Beatles) yang larut dalam pertarungan diri sendiri setelah John Lennon, vokalis utamanya, tewas ditembak penggemarnya.
BEGITU juga dengan spesies bernama mahasiswa. Koloni ini telah lama kesulitan menemukan format tegasnya untuk menanggung beban status moral yang terus didengung-dengungkan oleh senior atau dosen sejarah mereka. Sementara itu, di sisi lain, kondisi objektif terang-terang tak lagi mendukung semua hal berbau mahasiswa. Tengok saja pemberitaan media massa tentang bakar ban atau kemacetan jalan akibat demonstrasi; bukannya isu yang mereka bawa. Atau isu kolosal tentang mahasiswa yang belum jelas masa depannya ketika lulus. Atau mahasiswa yang sering ditunggangi elite. Atau mahasiswa yang tugasnya hanya sekolah. Atau mahasiswa yang mending pacaran. Atau mahasiswa yang seharusnya riset saja tanpa kritisme terhadap sosial. Atau….
Artinya, susah juga saat menyandang status mahasiswa tapi tak dapat mencetak sejarah besar. Namun ternyata tidak setiap zaman melahirkan kepemimpinan mahasiswa nyata, dalam arti perlawanan terhadap mainstream baik itu negara, modal, atau asing. Ada saat mahasiswa hanya di kampus, karena tak lagi direstui kondisi. Apalagi, kepala mahasiswa memang tak secepat kakinya. Praktis, semua hal tampak menjadi absurd dengan slogan-slogan membingungkan seperti agen perubahan, agen kontrol sosial, atau generasi penerus bangsa, dan seabrek identitas moral fantastis pemberian sejarah yang bisa jadi tidak lagi disandangnya.
Mahasiswa memang besar. Momentum kebangsaan apa pun di negeri ini tak dapat dilepaskan dari peran serta mereka. Sejak digelar Politik Etis awal dekade 1890-an, pemuda-pemuda keluaran sekolah Eropa, terutama Belanda, menginspirasi lahirnya Revolusi Kemerdekaan. Setelah proklamasi, mahasiswa-mahasiswa berhaluan kiri, khususnya CGMI (Centrum Gerakan Mahasiswa Indonesia) berseru pada gerakan revolusi antikapitalisme dan kolonialisme. Menyusul Orla yang runtuh oleh massa rakyat, mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) mulai menguasai pemerintahan. Saat Orba hancur, aktivis-aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mulai mendominasi gerakan mahasiswa.
Seiring dengan itu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) membesar di kampus-kampus Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menuai eksistensi di kampus-kampus Islam seperti IAIN, Liga Mahasiswa Nasional Demokrat (LMND) mengusung sosialisme, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengembuskan nasionalisme dalam warna gerakan mereka. Belum lagi organ-organ bentukan seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD), Gema Pembebasan (GP), Forum Kota (Forkot), Liga Mahasiswa Demokratik (LMD), Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD), atau yang lain.
Ada juga ormawa internal kampus seperti BEM, DPM, MPM, Persma, HMJ, kelompok studi, UKM-UKM, hingga lembaga riset mahasiswa. Untuk menjalankan aktivitasnya, biasanya mereka didukung penuh oleh kampus, baik akses, fasilitas, maupun pengembangan keorganisasiannya. Di beberapa tempat, ormawa internal kampus bahkan dapat bersinergi dengan pihak pimpinan kampus untuk mengagendakan pengembangan universitas.
PASCA gerakan reformasi 1998, ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, mahasiswa kesulitan mengawal enam visi reformasi. Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati memang disibukkan dengan gerakan mahasiswa yang menuntut penurunan presiden. Namun, setelah SBY-Kalla berkuasa, kritisme model ini tidak lagi menemui pasarnya. Publik tak lagi bersimpati dengan isu-isu serupa lantaran dikhawatirkan destruktif ketimbang menghasilkan solusi menjanjikan. Hasilnya, mahasiswa pun kesulitan menegakkan eksistensinya di mata publik.
Kedua, kampus-kampus excellent seperti UI, UGM, Unair, atau ITB didominasi oleh KAMMI, menggantikan HMI yang dulu dianggap beberapa kalangan sangat dekat dengan elite penguasa Orde Baru dan merestui kukuhnya kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun. Seperti diketahui, karena KAMMI adalah ormawa eksternal yang didesain untuk mengkover kaderisasi PKS di kampus, gerakan mereka lama-kelamaan mulai mengkristal mirip parpol. Padahal, umumnya, gerakan mahasiswa adalah gerakan ekstraparlemen yang tak akan mungkin bersekutu dengan parpol. Keberhasilan KAMMI mengubah konstelasi tentang mahasiswa yang bisa saja berparpol. Efeknya, bila mahasiswa tertarik berpartai, tentu nasib gerakan mahasiswa sebagai kelompok penekan akan menemui pola baru.
Ketiga, pasar bebas diberlakukan di Indonesia menggantikan kapitalisme negara Orde Baru. Kompetisi global akhirnya membaiat gaya-gaya neo-liberalisme seperti privatisasi, penghilangan batas-batas negara, dan berkuasanya informasi. SDM Indonesia, terutama mahasiswa, kesulitan beradaptasi dengan tren ini. Para mahasiswa pun tak lagi tertarik membicarakan gerakan mahasiswa, lantaran seperti tak berkaitan erat dengan masa depan mereka kelak. Rata-rata dari mereka berpikiran cepat lulus agar biaya pendidikan mereka tidak terus membengkak, sementara tak ada jaminan dari kampus tempat mereka belajar pada pekerjaan yang layak setelah lulus.
Masih Pentingkah Ideologi?
Kalau organisasi tak menghasilkan uang, mengapa harus ribut berpindah dari rapat ke rapat? Bila gerakan mahasiswa hanya menghabiskan waktu untuk berkumpul tanpa ada upaya membangun identitas diri, mengapa mesti nekat begadang hanya untuk lembur kepanitiaan? Andai kampus yang punya akses saja tak dapat menjamin masa depan, mengapa organisasi mahasiswa harus dibela mati-matian?
Sempurna. Tak ada lagi penjelasan tentang rumitnya hubungan antara semangat kritisme mahasiswa dengan keperkasaan modal. Sepertinya, gerakan mahasiswa layak dianggap gurem, lantaran tidak menghasilkan materi atau jaminan masa depan. Nah, dapatkah gerakan mahasiswa bertahan?
ADA pertanyaan sederhana. Untuk berhadapan dengan Microsoft, apakah hacker-hackersoft ware- soft ware mereka? Untuk bersaing dengan Pentagon, sanggupkah negeri ini memproduksi bambu runcing digital yang dapat menenggelamkan kapal induk berkekuatan 800 pesawat tempur dengan daya jelajah 20 tahun di lautan? Atau, untuk membayar utang, dapatkah orang-orang negeri ini menandingi George Soros di bursa saham internasional agar rupiah tiba-tiba menguat dan harga-harga menjadi murah? Sejak 1997, republik ini takluk di depan keperkasaan Soros dalam mengobok-ngobok kurs rupiah. Indonesia yang dianggap sebagai kaum pembajak kelas wahid kedua setelah Cina, dapat menemukan sistem komputer baru untuk membungkam
Jawabannya jelas tidak mungkin. Analoginya, saat ini orang-orang Indonesia tengah berlari dan diikuti orang-orang Barat, padahal mereka telah dua kali berputar mengelilingi bumi. Derajat kompetisinya sudah tak seimbang. Artinya, bila hanya diukur dari perspektif kasat mata, jelas tak akan sebanding. Untuk itu, diperlukan keberanian pengakuan diri tentang ketertinggalan bangsa ini dari Barat perihal peradaban, lantas kembali merombak cara pandang agar—setidaknya—dapat menghindar dari eksploitasi yang terus mereka gelar, baik eksploitasi halus atau invasi fisik. Menolak semua hal berbau Barat jelas tidak mungkin, tapi menerima cara pandang Barat apa adanya tentu lebih naif lagi.
Sampai di sini, sangat tampak bahwa identitas diri jelas bukan perkara fisik. Meski ia akan memobilisasi fisik untuk beraktivitas, identitas lahir dari cara pandang tentang sesuatu. Cara pandang tersebut dapat disebut dengan nilai, ideologi, atau cita-cita keadilan dunia, dan setiap orang pasti memilikinya.
Mendudukkan nilai sebagai pilihan kedua setelah produk gerakan atau organisasi tentu adalah kesalahan. Sebab, bila hanya mempertaruhkan produk tanpa basis nilai yang cukup, ia tidak akan bertahan lama. FPI tak akan gagah berani membersihkan tempat-tempat maksiat bila tanpa pemahaman penting seputar nahi mungkar yang berbuah surga, sementara dalam satu waktu mereka harus berhadapan dengan kelompok yang mereka musuhi sekaligus polisi negara. Forkot tak akan seberani itu menuntut nasionalisasi aset negara kalau tak ada doktrin tentang dominasi modal global yang semakin menyengsarakan rakyat. Perempuan-perempuan ber-fashion kosmopolit tak akan berpikir untuk berdandan sensual kalau tak meyakini bahwa seksi itu reputasi.
Artinya, tanpa ideologi atau basis nilai yang memadai, gerakan mahasiswa hanya akan menghabiskan waktu, melupakan masa depan, serta tak bergerak di wilayah strategis. Sedangkan untuk mencapai ideologisasi diperlukan proses transformasi yang kontinu dan berdasar pada kekuatan nilai yang komprehensif.
Belajar dan Bergerak
BEBERAPA hal dapat dibicarakan lebih lanjut untuk terus bertahan di era global yang tidak terlalu merestui gerakan mahasiswa ke rute semestinya. Sebab, diam atau kendur semangat jelas akan semakin mengubur gerakan mahasiswa ke dalam carut-marut krisis kebangsaan versus kekuatan global yang semakin gila-gilaan. Mental ini diperlukan untuk menyusun kerangka gerakan yang akan menghasilkan kondisi lebih baik ketimbang sekadar bertahan. Bagaimana mungkin gerakan mahasiswa dapat berkompetisi dengan kekuatan global bila terus-terusan meratapi kebesaran masa lalunya.
Pertama, keinginan diri untuk tidak pernah berhenti belajar. Setiap kali realitas bergerak lebih cepat dari kemampuan analisis, harus pula segera diimbangi dengan proses cari tahu yang lebih gila-gilaan. Tanpa ini, adaptasi yang kurang akan melahirkan keinferioran peran yang justru kontraproduktif dan melahirkan fanatisme karena ketidakmampuan. Ilmu yang cukup akan melahirkan perhitungan langkah yang strategis hingga kemudian berani untuk berkompetisi. Sebab, lemahnya analisis akan semakin meminderkan gerakan, bahkan membangun fanatisme yang bisa jadi malahan destruktif.
Kedua, membangun kelompok-kelompok diskusi berikut silabus khusus pengembangan diri. Transformasi ideologis akan dapat dilangsungkan dan lahirlah komunitas kecil yang ideologis. Forum-forum kecil seperti ini dapat diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa, baik intelektual maupun spiritual.
Ketiga, membuat akses strategis dengan melibatkan seluruh stakeholder gerakan seperti rakyat, kampus, pakar, tentara, polisi, politikus, kalau perlu negara asing. Seperti diketahui, fasilitas teknologi informasi dan komunikasi era ini sudah sangat memadai untuk membangun gerakan kultural, hingga politis. Koneksi ini tentu tidak untuk mengkhianati koloni, tapi untuk menakar realitas kekinian yang tengah bergerak dan berujung pada perubahan sosial. Seringnya, membangun akses dianggap sebagai bersekutu atau keluar dari koridor moral gerakan.
Keempat, memiliki tren masyarakat informasi. Maksudnya, mahasiswa harus sadar pentingnya informasi, bagaimana mendapatkannya, bagaimana mengolahnya, dan bagaimana menggunakannya. Kemampuan berbahasa dan memahami teknologi tentu sangat dituntut untuk mencapai target ini. Sebab, gerakan yang tak up to date tidak akan direspons kondisi.
Kelima, memproduksi isu. Kemampuan mendesain isu dengan pembangunan opini dan pencitraan gerakan membutuhkan perencanaan dan kepekaan yang matang. Di sana harus ada kebutuhan rakyat, visi kebangsaan, dan cita-cita universal. Tanpa ini, isu yang diusung gerakan mahasiswa justru dianggap corong atau kepanjangan tangan pihak-pihak yang berkuasa.
Keenam, konsolidasi dan refleksi. Membangun kepercayaan terhadap kemunitas sangatlah penting. Untuk membangun tren yang begitu kompleks medannya, dibutuhkan dukungan berbagai pihak. Selain itu, evaluasi gerakan harus dilakukan untuk memonitor spirit dan perencanaan.
Ketujuh, komitmen dan konsisten pada semua yang telah diyakini dan direncanakan. Mulailah berusaha keras mematuhi hasil-hasil rapat kerja, tepat waktu dalam setiap event, bertanggung jawab pada semua hal. Bila persoalan pribadi seperti keseringan bangun siang, buang sampah sembarangan, malas bersih-bersih, atau sekadar malas tersenyum pada orang lain masih sangat merepotkan bagi aktor-aktor gerakan mahasiswa maka untuk mewujudkan civil society yang diridhai oleh Allah Swt. adalah pekerjaan yang sulit. Bangunan publik yang bermartabat harus diawali dengan integritas moral mahasiswa agar tak paradoks dan dapat bertahan lama.
Plural dan Inklusif
TERKADANG, mahasiswa dapat bersatu lantaran alasan moral yang sama, seperti perlawanan terhadap rezim represif, memerangi ketidakadilan, atau membela kaum tertindas. Terkadang, mahasiswa juga terkotak-kotak, tergantung perspektif kelembagaan mereka. Hal ini wajar mengingat kebijakan masing-masing organ adalah independen. Artinya, meski berbeda, spirit kemahasiswaan mereka tetaplah terjaga sebagai bentuk perwakilan gerakan kaum muda yang tak menyetujui ketimpangan sistem sosial.
Saat Soeharto hendak digulingkan, semua elemen mahasiswa bernaung pada gerakan reformasi dengan isu yang sama. Ketika Soeharto dapat digulingkan, mahasiswa berbeda pendapat tentang Sidang Istimewa MPR untuk melanjutkan kepemimpinan negara. Pada waktu reformasi berhasil digulirkan, mahasiswa bahkan kembali pada perjuangan masing-masing atas kebijakan internal mereka; bukan lagi terorganisasi solid seperti sebelumnya.
Untuk itu, model gerakan mahasiswa memang harus berbasis pada independensi etis dan organisatoris. Maksudnya, ia bergumul atas karsa kebenaran universal (etis) dan bergerak pada wilayah oposisi (organisasi). Masing-masing organ semestinya memiliki Nilai Dasar Perjuangan yang dirumuskan dari nilai-nilai kebenaran universal. Sementara itu, untuk bergerak, mereka mesti memosisikan organisasi pada ranahnya, yakni oposisi; bukan politik praktis mirip parpol; bukan advokasi murni mirip LSM; bukan orientasi bisnis mirip korporasi; bukan akademis murni mirip sekolahan. Semua wilayah itu dapat dirangkum dalam gerakan mahasiswa yang memosisikan mereka pada koridor belajar dan bergerak; bukan hanya bergerak atau belajar saja.
Gerakan mahasiswa juga harus plural dan inklusif. Ia akan dapat solid dan berkualitas bila menerima perbedaan dalam konteks saling mengisi, juga berpikiran terbuka sebagai bentuk kepercayaan sikap internal gerakan. Tanpa pluralitas dan inklusivitas, gerakan mahasiswa akan gampang dikibuli, ditunggangi, bahkan dikambing-hitamkan. Sebab, pada konstelasi perpolitikan, mahasiswa tetap sosok ranum yang selalu diperebutkan penguasa, stakeholders politik, tentara, bahkan CIA atau Mossad Israel.
Konsolidasi di tataran ormawa baik internal maupun eksternal kampus semestinya dijaga untuk membangun ritme gerakan yang bisa jadi tidak semulus di atas kertas. Kecurigaan pada organ-organ tertentu dapat dijembatani dengan membangun relasi positif; bukan malah saling merusak atau bersaing negatif. Sebab, komitmen gerakan mahasiswa tetaplah sama, yakni penjaga moralitas bangsa dan perwujudan masyarakat yang bermartabat.
Untuk berhadapan dengan modal, kompetisi global, berikut semua pirantinya, upaya mahasiswa dalam mempertahankan gerakan moral dan berpihak pada kebenaran adalah harga mati. Bisa jadi, Barat sangat dominan dalam hal apa pun, tapi idealisme tak akan lekang sampai kapan pun. Sebab, tak semua hal dapat dibeli.
BIARLAH semua hal terjadi. Untuk kritis dan bergerak, bukan berarti mahasiswa tak dapat menikmati kesehariannya sebagai sosok manusiawi yang butuh dimengerti, anak rumahan yang berbakti, atau mungkin, musisi yang berbakat.
JANGAN larut dengan pertanyaan: bagaimana mungkin mahasiswa yang belum jelas masa depannya harus membangun negeri, sementara presiden sekalipun belum tentu sanggup?
Let’s do it!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar