Membincangkan musik adalah hal yang langgam, lawas dan sering dibicarakan. Mengapa perlu dibicarakan, bukan didengarkan. Begitulah, dari “mendengar”, terbitlah “membicarakan”, dua proses aktifitas yang seringkali menjadi satu. Nietzche sempat berujar, without a music, life would be a mistake (tanpa musik, hidup adalah kesalahan). Pernahkah kita berpikir, bilamana dunia tidak ada musik, alunan harmoni dari beberapa akord-akord yang saling melengkapi. Hambar, sepi, sunyi dan tiada arti. Seringkali kita tidak pernah sadar, musik telah menyatu dengan kita, atau secara radikal, bahwa musik adalah bagian dari tubuh kita yang senantiasa menemani perjalanan hidup. Tidak heran, para pemusik, selalu menemukan penggemar mereka secara militan. Slanker, OI (orang Indonesia, Baladewa, Sobat Padi dan lain-lain, adalah sekelompok di Indonesia yang secara masif, mengagumi musikalitas pemusik. Beberapa penggemar pun, tanpa segan, ada yang mentato tubuh mereka dengan lambang, representasi dari musik yang mereka gemari.

Begitulah, ide ini muncul sewaktu saya sedang bersantai membaca novel Madame Mao, karangan Anchee Minn, ditemani dengan instrument Kitaro. Proses membaca saya sempat berhenti, ketika lagu yang terputar di winamp, adalah caravansary. Ingatan saya langsung kembali pada masa lalu, di masa sekolah dulu. Memang, saya sudah mengenal Kitaro sejak dulu, meski tidak mendetail, begitu pula musik-musiknya, meski tidak juga sampai mengerti judul-judulnya.

Dulu, saya sempat mengerli alunan caravansary dari salah satu stasiun radio (saya lupa namanya). Ia menjadi latar dari beberapa petuah keagamaan sebelum stasiun radio tesebut memulai siaran baru. Tengah malam, waktu diputarnya lagu ini pada saat itu. Petuahnya menceritakan beberapa pengalaman dan kejadian religius pada zaman rasulullah. Sehingga sempat dulu saya berpikir, lagunya Kitaro ternyata, meski hasil karya komponis non-muslim bisa menjadi pengiring petuah agama islam.

Saya sembari tergelak, mengingat beberapa lirik lagu yang saya hafal. Mengingat esensinya yang menyimbolkan agama tertentu. Blink 182, dalam salah satu lagunya, Antherm Part 2, menuliskan, “earth is dying, help me Jesus (bumi sedang terpuruk, tolonglah aku Bapa)”. Band P.O.D (Payable on Death—Mati kok dibayar J) juga, dalam beberapa liriknya, berulang-ulang menyebuh kata JAH yang bermakna orang Yahudi. You know Jah know atau and Jah know, what I & I gonna do, dalam lagu berjudul, Execute The Sound. Satu lagi, terakhir, band Bad Religion (agama yang buruk—apalagi ini) mempunyai single populer yakni, American Jesus (saya hampir menuliskan American Idiot-nya Green Day).

Tidak terhitung, banyak band-band dan penyanyi solo yang menjadi agama sebagai inspirasi, baik dalam lirik, video klip, cover album dan music merchandise lainya. P.O.D sendiri, dikenal dengan band yang religius, meski dengan dandanan yang tidak menyerupai kostum agama tertentu. Liriklah yang membuat mereka begitu. Begitu pula Evanescene yang awal mulanya digadang sebagai band gereja gothic. Walau musik mereka bukan gospel, performance mereka lah yang membikin mereka dicap seperti itu. Di Indonesia sendiri, DEWA sempat berbuat ulah dengan lagu mereka, Satu. Lirik lagu satu dianggap menyekutukan Allah sebagaimana Al-Hallaj. Parahnya—tanpa mengurangi rasa hormat pada Andra and the Backbone (lho kok?!!)—dalam klipnya, mereka menampilkan Whirling Dervishes-nya Jalaluddin Rahmad, ups Jalaluddin Rumi.

Genre musik sangatlah bermacam-macam, sebagai salah satu budaya pop, ragam mereka pun juga berangsur-angsur menjadi budaya pop sendiri. Sekarang, cukup mudah membedakan genre musik, mulai dari pop, rock, jazz, reggae, punk dll. Tidak perlu dari gaya bermain dan alat yang mereka pakai, tetapi juga bisa dibedakan dari kostum dan penampilan yang ditunjukkan—sederhananya seperti itu. Genre pun ternyata mencirikan musik dengan realitas sosialnya, mulai dari Pop yang terlena dengan seduh sedah dan indahnya percintaan, Punk dengan ideologi perlawanan dan anarkisme mereka, dan juga reggae yang juga dikenal sebagai musik perlawanan, sepadan dengan tokohnya Bob Marley.

Kembali pada judul, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat fenomena musik yang mulai menjadi salah kaprah nasional. Pelembagaan yang terjadi sekarang, seperti musik ini adalah musik agama tertentu, tentu telah menyakiti banyak penggemar musik. Kontroversi yang terjadi lebih merujuk kepada fenomena salah tafsir yang dipaksakan benar. Tentu menyebabkan gagasan bermusik yang akan ditampilkan akan serta merta tertahan cukup radikal. Permasalahan yang dialami masyarakat musik, semacam dominasi mayor label dengan minor, pembajakan dan lainnya, dengan religiusasi musik menjadi lengkap. Isu-isu keagamaan semakin rentan melaju ke belantika musik tanah air. Sehingga bilamana tradisi “menafsir seenaknya sendiri” tetap diterapkan, maka kreatifitas pemusik Indonesia akan menurun. Pantas saja jika, lagu Indonesia jarang masuk MTV Internasional. J

Lagi-lagi saya tergelak sendiri, ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa musik arab adalah musik islami, barangkali ini karena alat musik yang mereka gunakan di dalamnya, seperti ketipung, terbang, gendang, dan lainnya yang menjadi alat musik semacam hadrah dan sholawatan. Ciri musik islami adalah seperti itu, begitulah anggapan orang-orang. Bahkan di rumah pun, sewaktu saya sedang mendengarkan lagu dari band-band melodik seperti SUM 41, Good Charlotte, dan The Ramones, saya sempat dimarahi dengan alasan musik kafir. Sungguh menggelikan, meski saya selalu menurut untuk mematikan. Suruh mereka adalah mendengarkan musik gambus yang bernuansa arab. Padahal sepengetahuan saya, lagu gambus seperti itu bukanlah lagu islam, karena penyanyi dengan genre musik tersebut ada yang beragama nasrani, yahudi dan non-islam. ia adalah musik arab, lha wong kata Allah adalah representasi dari tuhan juga di sana. Isi liriknya lah yang kadang bisa membedakan. Begitulah, musik dianggap beragama tertentu. padahal musik tidak beragama, tetapi di-agamakan oleh orang-orang. Sehingga beberapa musik instrumental acap disebut musik dengan agama tertentu. Ini berimbas pada konflik tidak berujung. Coba anda tafsirkan lagu “pengakuan”nya Power Metal, dan anggap mereka adalah orang kafir karena dandanan mereka—walau sebenarnya mereka adalah muslim. Haha, malaikat dan saya pun akan tertawa terbahak-bahak.

Tidak ada komentar: