Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang diterima secara luas, bahwa yang dimaksud cendikiawan adalah Pertama, orang yang cerdik, pandai, orang intelek. Kedua, orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.

Cendikiawan idealnya tidak hanya berkutat dan ’berbicara’ di sekitar politik dan pemerintahan. Melainkan cendikiawan ikut bertanggung jawab dalam mengatasi ’bencana’ sosial-lingkungan dengan berbagai bentuk ’penyeragaman’ paradigma berfikir, yang terus digencarkan oleh sistem kekuasaan ( tidak hanya kekuasaan pemerintah/pemimpin) beserta ideologi-ideologi dan pemikiran-pemikiran yang telah dibawanya. Dilain pihak cendikiawan harus mempertahankan independisi sebagai identitas, dengan tidak ’menjual’ pemikiran-pemikirannya atau dengan rela dan ihklas mengkebiri kebenaran lain hanya karena ’fanatisme’ yang dibawa sejak lahir. Walau ada sebuah pendapat bahwa cendikiawan berhak untuk memperoleh nafkah dari apa yang telah dia karyakan dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang telah diolahnya tersebut.

Dari pengertian cendikiawan di atas tergambar jelas bahwa tidak tersinggung sama sekali kalu insan cendikiawan itu boleh atau tidak ’bermain’ di sistem pemerintahan atau ikut campur bahkan ’menjual’ gaya berfikirnya untuk kepentingan politik.

Disatu pihak terdapat kumpulan pendapat tentang cendikiawan bahwa itu sah untuk kepentingan sistem ekonomi, pemerintah dan sistem yang dibidanginya, demi terwujudnya sistem tatanan yang damai, aman dan tentram. Akan halnya berbeda dengan lain pihak, ada hipotesa bahwa kaum cendikiawan harus berada di luar ’sistem’ tersebut dan berbagai paham yang bersifat mengikat. Karena para cendikiawan harus aktif bertindak sebagai fungsi sosial yang bermanfaat bagi masyarakat (moral force), pengontrol kekuasaan sistem, penegak kebenaran (kebenaran hakiki) dan sekaligus mereka harus menjadi contoh bagi kelas menengah (kaum elite) lainnya untuk membangun bangsa Indonesia tercinta.

Cendekiawan dituntut untuk memiliki sikap independensi dalam lingkup berfikir bebas (tidak bablas) dengan tidak terpengaruh oleh budaya, agama, rasial dan faham yang kental di kehidupan masyarakat. Sebab dengan jalan yang ditempuh ini mereka sebagai kaum intelek ber-continue mengaktualkan cara berfikirnya selaras dengan perkembangan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Bukan berarti mereka harus mengurung diri dan tidak boleh masuk ke dalam institusi tertentu atau masuk ke lini-lini golongan yang ada. Kecendikiawanan harus bebas dari belenggu semua kekuasaan (hegemoni), terutama hegemoni ’isme’ yang mengakar di kalangan masyarakat.

----------------hmi_stainkdr@yahoo.co.id-----------------

Paradigma cendikiawan bukanlah tidak mungkin kalau di’ajar’kan dan sebarluaskan kepada masyarakat akan melahirkan atau meng-elaborasi faham yang sedang berkembang dan sudah ada menjadi sebuah faham baru yang pada awalnya bertujuan sebagai solusi dari kelemahan faham yang lama. Kemudian ’memaksakan’ ideologi yang baru itu untuk dijadikan pedoman, dan itu indikasi mengarahkan satu pemikiran yang ’sama’ sehingga terjadilah penyeragaman pola pikir dan cara pandang.

Contoh ada sebuah dongeng dari Zaman sebelum masehi di Yunani, Socrates seorang filosof dianggap sebagai filosof sekaligus cendikiawan di zamannya, yang berkarakter untuk berfikir bebas. Konon, dia tidak mau dikungkung oleh institusi pemerintahan Athena beserta ajaran agamanya. Dia juga mengajarkan golongan muda untuk berfikir bebas. Dengan tindakan yang dilakukan tersebut dia lantas ditangkap untuk diadili dengan dipaksa meminum racun. Setelah kematiannya, salah satu muridnya yang bernama Plato melanjutkan perjuganan gurunya. Socrates dan Plato merupakan tokoh kebebasan berfikir. ’Anteseden’ itu berlawanan dalam kenyataan sekarang (zaman modern) lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi lebih banyak melakukan praktek antiseperen penyeragaman terutama penyeragaman berfikir dari pada kebebasan berfikir. Antiomi inilah yang akan mempengaruhi independensi bagi calon cendikiawan yang sedang mencari ilmu di perguruan tinggi yang mereka jadikan sebagai tempat pendewasaan.

Penyeragaman-penyeragaman di semua sektor baik pendidikan, interpretasi beragama, berfaham (isme) dan berfikir. Hal itu menjadi anti klimaks sekaligus antipasi akan bukti pembunuhan terhadap kreativitas dan bahkan memenjarakan ’alam fikir’ masyarakat.

----------------FORCEMIC-----------------

Yesus (nabi Isa) hampir mirip dengan Socrates dan muridnya itu, kebebasan berfikir yang diajarkannya adalah buah akumulasi dari penyeragaman berfikir yang dilakukan oleh pemimpin agama Yahudi dan kekuasaan Romavi. Akhirnya (menurut cerita) Yesus ditangkap, dan diadili. Namun setelah menghilangnya Yesus dari dunia, para muridnya berhasil membuat institusi, walau pada awalnya Yesus mengajarkan murid-muridnya tentang kebebasan befikir akan tetapi pada perjalan pengelolaan institusi yang didirikan tersebut di kemudian hari terjadi suatu pembatasan dalam berfikir. Bahkan pada abad pertengahan upaya pembatasan berfikir dan pemaksaan dilakukan dengan bentuk hukuman mati apabila menolak ajaran gereja.

Di Indonesia, agama-agama modern dapat dijadikan alat oleh ’kekuasaan’ tertentu untuk mengadakan propaganda penyeragaman pola pikir masyarakat. Hal-hal yang berada di luar institusi agama seperti aliran kepercayaan, ekstrim kanan-kiri, ’sempalan’ agama, aliran ’sesat’ dan kawan-kawannya tidak dibenarkan keberadaannya. Presumpsi itu diperkuat dengan tidak di akui keberadaan mereka atau bahkan mereka ’boleh’ dibinasakan dengan kekerasan dari bumi nusantara.

Paradoks

Cendikiawan, begitu kaum intelek itu membawa dan menyampaikan sikap berfikir bebasnya kepada orang lain, lebih-lebih dengan membawa paham atau ’isme’ dan institusi baru, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pengekangan dan penyeragaman berfikir, dengan ’memaksa’kan buah pikirannya untuk dijadikan pedoman. Tantangan ini hadir begitu jelas yang dihadapi cendikiawan, bukan hanya sekedar mereka harus membebaskan diri dari isme tertentu, namun juga membebaskan diri dari niat untuk mengajarkan dan memaksakan gagasannya kepada masyarakat.

Masyarakat pada dasarnya memang cenderung suka di kuasai, senang ditindas, mau membayar upeti, senang dilakukan tidak adil (diskriminatif) dll. Dan di lain sikap seperti itu, mereka juga menuntut untuk dilindungi, dibina, dibela haknya, diarahkan dan diberi pedoman serta hiburan.

Dizaman pra-Modern masyarakat dengan sukarela dikuasai oleh raja, dewa-dewi dan nabi. Bahkan masyarakat ’kecil’ itu begitu bangga jika anak gadisnya di perselir’ oleh pemimpinnya dan putranya dimasukan dalam jajaran prajurit peperangan. Dengan kehadiran penguasa itu masyarakat bisa aman dan enak hidupnya karena perlindungan, layanan dan pedoman hidup yang telah penguasa berikan untuk masyarakat.

Dizaman modern ini bahkan era postmodern para nabi sudah tidak hadir lagi. Namun masyarakat, tetap mau dikuasai dan minta perlindungan serta pedoman dari penguasa yang hadir di masyarakat. Apakah cendikiawan sekarang ini juga membawa pedoman yang harus ditaati oleh masyarakat?

Negeri Amerika yang nan Jauh di sana, masyarakatnya senang sekali dikuasai oleh uang, media massa, kehadiran bintang film dll. Untuk itu masyarakat mau diperbudak duduk di depan televisi, mau membawa tiket dan menghabiskan waktu untuk itu semuanya. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh hiburan dan pedoman hidup.

Massa ibaratnya adalah manusia bodoh yang mudah digiring ke mana-mana. Individu yang lemah hanya merasa dirinya aman apabila bergabung dengan individu lainnya dan mengelompok menjadi massa dengan segala institusinya.

Namun, yang perlu disoroti bahwa cendikiawan adalah sosok insan yang kuat dan bebas, dia tidak membutuhkan perlindungan, kekangan dan pimpinan. Kecendikiawanan adalah milik khas manusia, hanya dengan memelihara dan mengembangkan kecendikiawannya manusia tidak menjadi binatang yang hanya bisa berjalan tegak dan bisa berbicara saja.

Tugas cendikiawan adalah senantiasa mengaktualisasikan sikap pikirannya agar bebas dari kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan intelektualnya sendiri untuk sekedar membentuk isme/institusi baru. Wallauh A’lam Bishawab

Tidak ada komentar: